Kamis, 16 Desember 2010

tekanan intra kranial


PENINGGIAN TEKANAN INTRAKRANIAL
1. PENDAHULUAN

Peninggian tekanan intrakranial (TIK/ICP, Intracranial Pressure)
merupakan bencana sejak masa awal bedah saraf,
dan tetap merupakan penyebab kematian paling sering pada
penderita bedah saraf. Ini terjadi pada penderita
cedera kepala, stroke hemoragik dan trombotik,
serta lesi desak ruang seperti tumor otak. Massa intrakranial
bersama pembengkakkan otak meninggikan TIK dan
mendistorsikan otak. Cara untuk mengurangi TIK dengan
cairan hipertonik yang mendehidrasi otak, menjadi bagian
penting pada tindakan bedah saraf.
Beberapa proses patologi yang mengenai otak dapat
menimbulkan peninggian tekanan intrakranial. Sebaliknya
hipertensi intrakranial mempunyai konsekuensi yang buruk
terhadap outcome pasien. Jadi peninggian TIK tidak hanya
menunjukkan adanya masalah, namun sering bertanggung-jawab
terhadapnya.
Walau hubungan antara pembengkakan otak dengan hipertensi
intrakranial dan tanda-tanda neurologi yang umum terjadi pada
herniasi tentorial, hingga saat ini sedikit informasi direk
tentang kejadian, derajat dan tanda klinik yang jelas dari
peninggian TIK. Sebabnya adalah bahwa tekanan jarang yang
langsung diukur intrakranial. Untuk itu, pengukuran dilakukan
pada rongga subarakhnoid lumbar dan hanya kadang-kadang dicatat
serta pada waktu yang singkat pula. Pungsi lumbar tidak hanya
memacu herniasi tentorial atau tonsilar, namun juga tekanan yang
terbaca lebih rendah dari yang sebenarnya.
Sejak Lundberg memperkenalkan pemantauan yang sinambung
terhadap TIK dalam praktek bedah saraf tahun 1960, telah banyak
peningkatan pengetahuan atas TIK dan pengelolaannya. Pada saat
yang sama timbul kontroversi atas pemantauan TIK. Sebagian
menganggap teknik ini merupakan bagian dari perawatan intensif
dan berperan dalam pengelolaan setiap pasien koma. Lainnya
mengatakan bahwa tidak ada hubungan bahwa pemantauan TIK
mempengaruhi outcome dan hanya menambah risiko karena tindakan
yang invasif tersebut. Pemantauan sinambung sebenarnya sudah
dikenalkan oleh Guillaume dan Janny 1951. Sejak awal 1970 lebih
mendapat perhatian seiring dengan majunya tehnologi yang
bersangkutan.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pemantauan TIK merupakan
satu-satunya cara untuk memastikan dan menyingkirkan hipertensi
intrakranial. Bila hipertensi terjadi, pemantauan TIK merupakan
satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk menilai tentang
kerja pengobatan dan memberikan kesempatan dini untuk mengubah
pilihan terapi bila tampak kegagalan. Bila tak terdapat
peninggian TIK, pengobatan yang potensial berbahaya dapat
dihindari. Bila pasien dalam keadaan paralisa atau tidur dalam,
pengamatan neurologis konvensional tidak ada gunanya dan
pemantauan TIK dapat memberikan nilai tekanan perfusi serebral
dan indeks dari fungsi serebral.


2. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen: otak,
cairan serebrospinal (CSS) dan darah yang masing-masing tidak
dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama
yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium yang kaku yang
memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah
terletak pada hiatus dari tentorium.


SIRKULASI CAIRAN SEREBROSPINAL

Produksi
CSS diproduksi terutama oleh pleksus khoroid ventrikel lateral,
tiga dan empat, dimana ventrikel lateral merupakan bagian
terpenting. 70 % CSS diproduksi disini dan 30 % sisanya berasal
dari struktur ekstrakhoroidal seperti ependima dan parenkhima
otak.
Pleksus khoroid dibentuk oleh invaginasi piamatervaskuler
(tela khoroidea) yang membawa lapisan epitel pembungkus dari
lapis ependima ventrikel. Pleksus khoroid mempunyai permukaan
yang berupa lipatan-lipatan halus hingga kedua ventrikel lateral
memiliki permukaan 40 sm2. Mereka terdiri dari jaringan ikat pada
pusatnya yang mengandung beberapa jaringan kapiler yang luas
dengan lapisan epitel permukaan sel kuboid atau kolumner pendek.
Produksi CSS merupakan proses yang kompleks. Beberapa
komponen plasma darah melewati dinding kapiler dan epitel
khoroid dengan susah payah, lainnya masuk CSS secara difusi dan
lainnya melalui bantuan aktifitas metabolik pada sel epitel
khoroid. Transport aktif ion ion tertentu (terutama ion sodium)
melalui sel epitel, diikuti gerakan pasif air untuk
mempertahankan keseimbangan osmotik antara CSS dan plasma darah.

Sirkulasi Ventrikuler
Setelah dibentuk oleh pleksus khoroid, cairan bersirkulasi pada
sistem ventrikuler, dari ventrikel lateral melalui foramen Monro
(foramen interventrikuler) keventrikel tiga, akuaduktus dan
ventrikel keempat. Dari sini keluar melalui foramina diatap
ventrikel keempat kesisterna magna.

Sirkulasi Subarakhnoid
Sebagian cairan menuju rongga subarakhnoid spinal, namun
kebanyakan melalui pintu tentorial (pada sisterna
ambien) sekeliling otak tengah untuk mencapai rongga
subarakhnoid diatas konveksitas hemisfer serebral.

Absorpsi
Cairan selanjutnya diabsorpsi kesistem vena melalui
villi arakhnoid. Villa arakhnoid adalah evaginasi penting rongga
subarakhnoid kesinus venosus dural dan vena epidural; mereka
berbentuk tubuli mikro, jadi tidak ada membran yang terletak
antara CSS dan darah vena pada villi. Villi merupakan katup
yang sensitif tekanan hingga aliran padanya adalah satu
arah. Bila tekanan CSS melebihi tekanan vena, katup terbuka,
sedang bila lebih rendah dari tekanan vena maka katup akan
menutup sehingga mencegah berbaliknya darah dari sinus kerongga
subarakhnoid. Secara keseluruhan, kebanyakan CSS dibentuk di
ventrikel lateral dan ventrikel keempat dan kebanyakan
diabsorpsi di sinus sagittal.
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara
pembentukan dan absorpsi CSS. Derajat absorpsi adalah
tergantung tekanan dan bertambah bila tekanan CSS meningkat.
Sebagai tambahan, tahanan terhadap aliran tampaknya berkurang
pada tekanan CSS yang lebih tinggi dibanding tekanan normal. Ini
membantu untuk mengkompensasi peninggian TIK dengan meningkatkan
aliran dan absorpsi CSS.
Hampir dapat dipastikan bahwa jalur absorptif adalah bagian
dari villi arakhnoid, seperti juga lapisan ependima ventrikel
dan selaput saraf spinal; dan kepentingan relatifnya mungkin
bervariasi tergantung pada TIK dan patensi dari jalur CSS
secara keseluruhan.
Sebagai tambahan atas jalur utama aliran CSS, terdapat
aliran CSS melalui otak, mirip dengan cara cairan limfe. Cara
ini kompleks dan mungkin berperan dalam pergerakan dan
pembuangan cairan edem serebral pada keadaan patologis.

Komposisi CSS
CSS merupakan cairan jernih tak berwarna dengan tampilan seperti
air. Otak dan cord spinal terapung pada medium ini dan karena
efek mengambang, otak yang beratnya 1400 g akan mempunyai berat
netto 50-100 g. Karenanya otak dilindungi terhadap goncangan oleh
CSS dan mampu meredam kekuatan yang terjadi pada gerak kepala
normal. Otak mempunyai kapasitas gerakan terbatas terhadap
gerakan tengkorak karena terpaku pada pembuluh darah dan saraf
otak.
Pada dewasa terdapat 100-150 ml CSS pada aksis kraniospinal,
sekitar 25 ml pada ventrikel dan 75 ml pada rongga subarakhnoid.
Pencitraan Resonansi Magnetik telah digunakan untuk mengukur isi
CSS intrakranial. Isi CSS kranial total meningkat bertahap sesuai
usia pada tiap jenis kelamin.
Tingkat rata-rata pembentukan CSS sekitar 0.35 ml/menit,
atau 20 ml/jam atau sekitar 500 ml/hari. CSS terdiri dari air,
sejumlah kecil protein, O2 dan CO2 dalam bentuk larutan, ion
sodium, potasium dan klorida, glukosa dan sedikit limfosit. CSS
adalah isotonik terhadap plasma darah dan sesungguhnya mungkin
dianggap sebagai ultrafiltrat darah yang hampir bebas sel dan
bebas protein. Konsentrasi protein berbeda secara bertingkat
sepanjang neuraksis. Pada ventrikel nilai rata-rata protein
adalah 0.256, dan pada sisterna magna 0.316.
Dalam keadaan normal, TIK ditentukan oleh dua faktor.
Pertama, hubungan antara tingkat pembentukan CSS dan tahanan
aliran antara vena serebral. Kedua, tekanan sinus venosus dural,
yang dalam kenyataannya merupakan tekanan untuk membuka sistem
aliran. Karenanya :

Tekanan CSS =
(tingkat pembentukan X tahanan aliran) +
tekanan sinus venosus

Tingkat pembentukan CSS hampir konstan pada daerah yang luas dari
TIK namun mungkin jatuh pada tingkat TIK yang sangat tinggi.
Dilain fihak, absorpsi tergantung pada perbedaan tekanan antara
CSS dan sinus venosus besar, karenanya makin tinggi tingkat
absorpsi bila TIK makin melebihi tekanan vena.

Volume Darah Serebral
Bagian yang paling labil pada peninggian TIK dan yang mempunyai
hubungan yang besar dengan klinis adalah peningkatan volume darah
serebral (VDS/CBV, Cerebral Blood Volume). Ini mungkin akibat
dilatasi arterial yang berhubungan dengan peningkatan aliran
darah serebral, atau karena obstruksi aliran vena dari rongga
kranial sehubungan dengan pengurangan aliran darah serebral
(ADS/CBF,Cerebral Blood Flow).
Volume darah serebral normal sekitar 100 ml. Pada percobaan
binatang dengan menggunakan sel darah merah yang dilabel dengan
fosfor-32, khromium-51 dan albumin yang dilabel dengan iodin-131
didapatkan volume darah serebral sekitar 2 % dari seluruh isi
intrakranial.
Pengukuran langsung VDS, ADS regional dan ekstraksi oksigen
kini dapat diukur pada manusia dengan menggunakan tomografi emisi
positron (PET scanning).
Sekitar 70 % volume darah intrakranial terdapat pada
pembuluh kapasitans, yaitu bagian vena dari sistem vaskular. Pada
berbagai volume intrakranial, hanya volume darah yang dapat
berubah cepat sebagai respons terhadap perubahan TIK atau
perubahan pada volume in- trakranial lainnya. Ini adalah hubungan
langsung antara vena serebral, sinus venosus dural dan vena besar
dleher. Jadi tak ada yang menghalangi transmisi peninggian
tekanan vena dari dada dan leher ke isi intrakranial. Fenomena
ini mempunyai kegunaan terapeutik yang penting.
Perubahan VDS bergantung pada mekanisme yang kompleks yang
bertanggung-jawab untuk mengatur sirkulasi serebral.

Dioksida Karbon, ADS dan VDS
Pembuluh yang fisiologis paling aktif adalah arteriola serebral.
Ia sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan metabolik.
Artinya ADS regional bereaksi atas kebutuhan metabolik jaringan.
Zat vasodilator yang paling kuat adalah CO2; ADS berubah 2-4 %
untuk tiap mmHg perubahan tekanan arterial dioksida karbon,
PaCO2. ADS akan mengganda pada peninggian PaCO2 40-80 mmHg dan
akan tinggal setengahnya bila PaCO2 turun ke 20 mmHg. Dibawah 20
mmHg, perubahan PaCO2 hanya sedikit berpengaruh pada ADS karena
aliran sangat lambat dimana terjadi hipoksia jaringan. Karenanya
vasokonstriksi hipokapnik mungkin tidak menyebabkan hipoksia
hingga derajat yang menyebabkan kerusakan struktur otak.
Hubungan ini pada manusia telah dipastikan menggunakan sidik
PET dengan mengukur reaksi VDS atas perubahan PaCO2.

Oksigen, ADS dan VDS.
Penurunan tekanan arterial oksigen (PaO2) berakibat peninggian
ADS. Ada ambang rangsang untuk fenomena ini dan hanya bila PaO2
dibawah 50 mmHg yang jelas menaikkan aliran darah. Pada PaO2 30
mmHg, ADS lebih dari dua kali lipat.
Manfaat dilatasi vaskular tentu saja untuk meningkatkan
aliran darah melalui otak disaat dimana volume oksigen per unit
volume darah berkurang. Sepanjang peningkatan aliran darah dapat
mengkompensasi pengurangan kandung oksigen, kebutuhan oksigen
dapat dicapai dan otak dapat melanjutkan metabolisme normalnya.
Bila PaO2 turun hingga sekitar 20 mmHg, rangsangan untuk
vasodilatasi menjadi maksimal, selanjutnya pengurangan tekanan
oksigen berakibat glikolisis anaerob dan penurunan fosforilasi
oksidatif, tanda utama dari perubahan metabolik hipoksik.
Disisi lain, peninggian PaO2 hanya menyebabkan perubahan
kecil dari ADS. Pemberian oksigen 100 % (1 atmosfir) akan
mengurangi ADS sebesar 10 % dan pemberian oksigen pada 2
atmosfir, sekitar 20 %.
Jadi perubahan baik PCO2 dan PO2 berakibat langsung pada TIK
via perubahan diameter pembuluh dan VDS. Mekanisme yang
bertanggung-jawab atas perubahan diameter pembuluh tetap
kontroversial dan mungkin melibatkan konsentrasi H+ jaringan di
cairan ekstraselular, kalsium, potasium, prostaglandin dan
adenosin. Dugaan bahwa mekanisme neurogenik serupa dengan refleks
khemoreseptor seperti vasodilatasi serebral hipoksik, belum dapat
dibuktikan.
Cara lain untuk menggambarkan akibat dari hipoksia terhadap
dinamika intrakranial adalah mencatat TIK dan membuktikan bahwa
reaksinya adalah via vasodilatasi serebral, peninggian ADS dan
peninggian VDS.
Hipotermi mengurangi TIK dengan menyebabkan vasokonstriksi
serebral yang akan mengurangi VDS.
Manfaat praktis dari hubungan tersebut sangat besar.
Misalnya TIK sangat dipengaruhi perubahan VDS yang umum terjadi
pada obstruksi respiratori, inadekuasi respiratori atau bendungan
vena.


VOLUME OTAK

Rata-rata berat otak manusia sekitar 1400 g, sekitar 2 % dari
berat badan total. Volume glial sekitar 700-900 ml dan neuron-
neuron 500-700 ml. Volume cairan ekstraselular (ECF) sangat
sedikit.
Sebagai perkiraan, glia dan neuron mengisi 70 % kandung
intrakranial, dimana masing-masing 10 % untuk CSS, darah dan
cairan ekstraselular.
Perubahan otak sendiri mungkin bertanggung-jawab dalam
peninggian kandung intrakranial. Contoh paling jelas adalah pada
tumor otak seperti glioma. Disamping itu, penambahan volume otak
sering secara dangkal dikatakan sebagai edema otak dimana
maksudnya adalah pembengkakan otak sederhana. Penggunaan kata
edema otak harus dibatasi pada penambahan kandung air otak. Otak
mengandung kandung air yang tinggi: 70 % pada substansi putih dan
80 % pada substansi kelabu yang lebih seluler. Kebanyakan air
otak adalah (80 %) intraseluler. Volume normal cairan
ekstraseluler kurang dari 75 ml, namun bertambah hingga mencapai
10 % volume intra- kranial. Rongga ekstraseluler berhubungan
dengan CSS via ependima. Air otak berasal dari darah dan akhirnya
kembali kesana juga. Relatif sedikit air otak yang berjalan
melalui jalur lain, yaitu melalui CSS.


SAWAR DARAH-OTAK

Bukti pertama adanya sawar struktural yang terletak antara darah
dan otak berdasarkan pengamatan bahwa pada penderita jaundice
warna kuning hanya terjadi didalam dan disekitar tepi tumor otak
metastatik dan membiarkan substansi putih tetap tak tersentuh
warna. Percobaan penyuntikan zat warna vital pada pembuluh darah
binatang, 1921, ternyata tidak mewarnai sistem saraf, dan konsep
sawar darah-otak (Blood-Brain Barrier, BBB) diperkenalkan.
Sekarang dibuktikan merupakan sawar yang sangat selektif yang
mengatur substansi yang penting secara biologikal baik masuk
maupun keluar dalam usaha mengontrol lingkungan neural dan
mempertahankan fungsi normalnya. Bekerja-sama dengan pleksus
khoroid, SDO juga mengontrol komposisi CSS dalam batas yang
sempit.
Komponen anatomikal sawar darah-otak adalah kapiler
serebral, sel endotelial yang membentuk batas antara darah yang
terkandung didalam lumen kapiler dan jaringan sekitarnya.
Sekeliling permukaan luar sel endotelial terdapat lamina basal
sempit yang tidak terputus-putus. Terdapat glial end feet
(astrocytic foot processes) melekat di lamina basal perivaskuler
dengan celah-celah antara end feet. Membran sel dari sel
endotelial berdekatan sangat rapat satu sama lain dan pada
sejumlah tempat bersatu membentuk hubungan yang erat dan
tertutup. Kapiler serebral memungkinkan pengangkutan hampir tanpa
batas substansi yang sangat larut lemak dan membatasi
pengangkutan kebanyakan molekul hidrofilik yang sangat
terpolarisasi karena hubungan yang sangat rapat, tiadanya
fenestra dan pinositosis. Gula tertentu serta asam amino melintas
kapiler melalui proses khusus dengan mediasi pembawa. Transport
sodium dan potasium, karenanya juga air otak, ATPase adalah
faktor terpenting.
Perubahan sawar darah-otak terjadi pada beberapa kelainan.
Ia sering berupa mekanik sederhana, memungkinkan pergerakan
molekul besar seperti protein dari darah ke otak. Bila parah,
mungkin menimbulkan edema otak. Kerusakan fisik dari sawar
dan/atau rangsangan pinositosis menyebabkan pergerakan cairan
yang berasal dari plasma melalui sawar. Contoh kerusakan sawar
darah-otak yang tak terlalu parah dapat dilihat pada sken CT yang
diperkuat dengan injeksi senyawa yang mengandung iodin.
Fungsi sawar darah-otak dapat dipengaruhi oleh injeksi bolus
zat hipertonik seperti media kontras atau mannitol ke arteri
karotid internal. Ini sementara membuka sawar darah-otak dan ini
nyata sangat potensial dalam menempatkan agen terapeutik yang
dalam keadaan normal tidak dapat melalui SDO, kedalam otak. Hal
ini jangan dikacaukan dengan keadaan setelah pemberian infus agen
osmotik seperti mannitol intravena pada pengobatan peninggian
TIK. Pada keadaan ini, perubahan osmolaritas darah adalah bagian
dari injeksi bolus intrakarotid dan tidak ada perubahan
permeabilitas SDO. Karenanya dalam mengontrol TIK, SDO yang intak
mungkin diperlukan agar dimungkinkan adanya perbedaan tingkat
osmotik hingga cairan ekstraselular akan mengalir kedalam darah.
Satu dari mekanisme utama dimana agen osmotik menurunkan TIK
adalah dengan membuang air dari daerah otak bersangkutan yang
memiliki SDO intak, dan tidak dari daerah dengan perubahan
patologikal dari kapiler serebral.


AUTOREGULASI

Fenomena autoregulasi cenderung mempertahankan CBF pada tekanan
darah rata-rata antara 50-160 mmHg. Dibawah 50 mmHg CBF berkurang
bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh
serebral dan peninggian TIK. Autoregulasi sangat terganggu pada
misalnya cedera kepala . Karena peninggian CBV berperan
meninggikan TIK, penting untuk mencegah hipertensi arterial
sistemik seperti juga halnya mencegah syok pada cedera kepala
berat. Pengobatan hipertensi sedang yang sangat agresif atau
koreksi hipotensi yang tidak memadai bisa berakibat gawat,
terutama pada pasien tua.



Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan tekanan intracranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan intracranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmhg (136 mm H2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya.
b. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intracranial selalu konstan karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar.
Secara sederhana; isi tengkorak terdiri atas; Darah (vena & arteri), jaringan otak dan cairan intrakranial yang konstan pd tekanan 10 mmHg. sehingga jika terjadi penambahan isi tengkorak dari salah satu komponen diatas kam menimbulkan penurunan volume pd isi yg lainnya termasuk adanya massa. hal ini akan menyebabkan peningkatan TIK.

Doktrin Monro-Kellie : Kompensasi intracranial terhadap masa yang berkembang. Volume isi intracranial akan selalu konstan. Bila terdapat penambahan masa seperti adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya CSF dan darah vena keluar dari ruang intracranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.

TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intracranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.
Karenanya semua upaya ditujukan untuk menjaga agar TIK penderita tetap pada garis datar kurva volume-tekanan, dan tidak membiarkannya sampai melewati titik dekompensasi.

c. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Tekanan perfusi otak (TPO) adalah indicator yang sama pentingnya dengan TIK. TPO mempunyai formula sebagai berikut :

TPO = TAR – TIK
( TAR = Tekanan arteri rata-rata; Mean arterial pressure )

TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kseudahan yang buruk pada penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi ternyata sangat penting untuk tetap mempertahankan tekanan darah yang normal. Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.

d. Aliran Darah Otak (ADO)
ADO normal kedalam otak kira-kira 50 ml /100 gram jaringan otak per menit. Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100gr/menit maka aktifitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. ADO menurun curam bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg. Dan bila tekanan arteri rata-rata diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat hematoma intra cranial haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat tetap harus dipertahankan.


Artikel Patofisiologi
Diposkan oleh Cyber of Unived di 10:36 Label: artikel
Definisi
Peningkatan tekanan intracranial atau TIK (intracranial pressure, ICP) didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis.

Patofisiologi
Ruang intracranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intracranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intracranial dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari pada normal. Beberapa aktivitas tersebut adalah pernapasan abdominal dalam, batuk, dan mengedan atau valsalva maneuver. Kenaikan sementara TIK tidak menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan tekanan yang menetap mengakibatkan rusaknya kehidupan jaringan otak.
Ruang intracranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsure yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsure lainnya dan menaikan tekanan intracranial. Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan TIK. Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga ruangannya meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi volumenya (apabila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural ini dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran CSF ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak kearah bawah atau horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi syaraf. Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal.
Tumor otak, cedera otak, edema otak, dan obstruksi aliran darah CSF berperan dalam peningkatan TIK. Edema otak (mungkin penyebab tersering peningkatan TIK) disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan cairan intrasel, hipoksia, iskemia otak, meningitis, dan cedera). Pada dasarnya efeknya sama tanpa melihat factor penyebabnya.
TIK pada umumnya meningkat secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema terjadi dalam 36 hingga 48 jam hingga mencapai maksimum. Peningkatan TIK hingga 33 mmHg (450 mmH2O) menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak (cerebral blood flow, CBF). Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai reflek cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak. (akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikan tekanan intracranial). Tekanan darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu titik ketika TIK melebihi tekanan arteria dan sirkulasi otak berhenti yang mengakibatkan kematian otak. Pada umumnya, kejadian ini didahului oleh tekanan darah arteria yang cepat menurun.
Siklus deficit neurologik progresif yang menyertai kontusio dan edema otak (atau setiap lesi massa intracranial yang membesar). Seperti pada gambar dibawah







Trauma otak menyebabkan menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontosio, menyebabkan rusaknya sawar darah otak (Blood brain barrier, BBB), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehinggaq timbhul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan CBF, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PaCO2), dan kerusakan BBB lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut sehingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali bila dilakukan intervensi.




Peningkatan TIK dan intervensinya
Factor Fisiologi Intervensi Rasional
Edema serebral Dapat disebabkan oleh kontosio, tumor atau abses; intoksikasi air (hipoosmolalitas); perubahan barier otak darah (kebocoran protein ke dalam jaringan menyebabkan air mengalir) Pemberian diuretic osmotic sesuai ketentuan (pantau osmolalitas serum)
Mempertahankan kepala tempat tidur setinggi 30°
Meningkatkan aliran balik vena Mempertahankan kesejajaran kepala 
Mencegah kerusakan aliran vena melalui vena jugularis
Mempertahankan PaCo2 lebih dari 60 mmHgHipoksia Penurunan PaO2 menyebabkan vasodilatasi serebral kurang dari 60 mmHg.
Mempertahankan terapi O2
Memantau analisis gas darah
Penghisapan bila diperlukan
Mempertahankan jalan napas pasien Mencegah hipoksia dan vasodilatasi
Hiperkapnia (peningkatan CO2) Menyebabkan vasodilatasi Pertahankan PaCO2 (normalnya 25-30 mmHg) dengan hiperventilasi Menurunkan PaCO2 mencegah vasodilatasi dan karenanya menurunkan volume darah serebral
Mempertahankan kesejajaran kepalaKerusakan aliran balik vena Meningkatkan volume darah serebral
Tinggikan kepala tempat tidur 30° Hiperekstensi, rotasi atau hiperfleksi bagian leher menyebabkan penurunan aliran darah vena
Peningkatan tekanan abdomen atau intratorakal Peningkatan tekanan ini karena batuk, PEEP, valsalva maneuver yang menyebabkan penurunan aliran Pantau analisis gas darah dan pertahankan PEEP serendahbalik vena mungkin
Berikan O2 lembab
Berikan laksatif sesuai ketentuan Defekasi lunak akan mencegah mengejan atau valsalva maneuver

Valsalva maneuver
Valsalva mekanisme adalah koordinasi sekumpulan muscle neurological yang bekerja bersamaan dan disebut Valsalva maneuver.
Valsalva maneuver adalah usaha pernafasan secara paksa menutup glottis, menghasilkan peningkatan tekanan intrathoracic, meningkatkan tekanan intracranial, menghambat venous return dan menurunkan heart rate.
Valsalva maneuver digunakan sebagai alat diagnostic untuk mengevaluasi kondisi jantung dan terkadang dilakukan sebagai treatment untuk mengkoreksi abnormalitas ritme jantung atau untuk gambaran nyeri dada. Valsalva maneuver juga digunakan untuk pasien yang mengalami gagap, dan lain sebagainya. Namun untuk kasus neurology yang berhubungan dengan tekanan intracranial valsalva maneuver tidak boleh dilakukan karena akan meningkatkan tekanan intracranial.




















Fisiologi Valsalva Maneuver
Terdapat empat tahap fisiologi pada valsalva maneuver (Yale,2005):
1. Permulaan strain (ketegangan)
2. Strain dilanjutkan
3. Penurunan
4. Recovery (perbaikan).
Tabel 1. Perubahan Fase dan fisiologi pada Valsalva Maneuver
Fase Respon Tekanan darah Systolik Nadi
I Permulaan strain Meningkat Stabil
II Strain dilanjutkan Menurun Meningkat
III Penurunan Menurun Stabil
IV Recovery Meningkat Meningkat

Secara normal, mengedan sebagai bentuk strain akan menyebabkan penutupan glotis sehingga meningkatkan tekanan intra thorax dan tekanan darah sistolik yang akhirnya menyebabkan kompensasi aorta (fase I). Kemudian diikuti oleh penurunan venous return dan tekanan darah sistolik sampai dibawah baseline untuk mempertahankan tekanan positif intrathorax (fase II). Pada fase III dan IV terjadi kompensasi sebagai mekanisme fisiologi dalam menurunkan tekanan intrathorax. Kompensasi ini meliputi penurunan tekanan darah sistolik. Suara korotkof merupakan respon dari peningkatan tekanan darah sistolik, hal ini normal terjadi bila dilakukan auskultasi pada arteri brachialis selama fase II dan IV.
Ekshalasi kuat dengan glotis yang tertutup, dapat menyebabkan efek terhadap tekanan darah arteri. Selama regangan yang aktif, aliran darah venous di dalam paru secara temporer terhalang karena peningkatan tekanan intrathorax. Tekanan ini menyebabkan kollaps vena-vena besar di paru. Atrium dan ventrikel menerima lebih sedikit darah, dan menyebabkan penurunan aliran darah systolic dan akhirnya terjadi penurunan cardiac output. Hal ini menurunkan tekanan arteri secara temporer. Hampir secara mendadak setelah periode hipotensi ini, peningkatan arteri terjadi: peningkatan tekanan yang terjadi melampaui angka yang sebenarnya (rebound phenomena). Pada klien dengan hypertensi, reaksi kompensasi dapat mencapai tekanan yang sangat tinggi dan merupakan ancaman bahaya sehingga mengancam ruptur arteri mayor pada otak atau pembuluh darah lain.
Proses keperawatan
Pasien peningkatan tekanan intracranial

Pengkajian
Tingkat kesadaran pasien dikaji sebagai dasar dalam mengidentifikasi criteria Skala Koma Glasgow. Pasien dengan peningkatan TIK memperlihatkan perubahan lain yang dapat mengarah pada peningkatan TIK berat. Hal ini termasuk perubahan yang tidak terlihat, perubahan tanda vital, sakit kepala, perubahan pupil, dan muntah.
Perubahan samar. Gelisah, sakit kepala, pernapasan cepat, gerakan tidak tertuju dan mental berkabut dapat merupakan indikasi klinis dini dari peningkatan TIK. Indicator pertama TIK adalah perubahan tingkat kesadaran.
Perubahan tanda vital. Perubahan tanda vital mungkin tanda akhir dari peningkatan TIK. Pada peningkatan TIK, frekuensi nadi dan pernapasan menurun dan tekanan darah serta suhu meningkat. Tanda-tanda spesifik yang diobservasi termasuk adanya tekanan tinggi pada arteri, bradikardia dan respirasi tidak teratur serta adanya tanda lain yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pernapasan tidak teratur yangdikaji termasuk pernapasan cheyne stokes (frekuensi dan kedalaman pernapasan bergantian dengan periode singkat apnea) dan pernapasan ataksia (pernapasan tidak teratur dengan urutan kedalaman yang acak dan pernapasan dangkal).
Tanda vital pasien berkompensasi selama sirkulasi otak dipertahankan. Bila, sebagai akibat dari kompresi , sirkulasi utama mulai gagal, nadi dan pernapasan mulai cepat dan suhu biasanya meningkat tetapi tidak diikuti pola yang konsisten. Tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan diastolic) melebar, keadaan ini berkembang serius. Perubahan cepat pada respons klinik sebelumnya selalu berada pada periode di mana fluktuasi nadi menjadi cepat, dengan kecepatan yang bervariasi dari lambat sampai cepat. Intervensi pembedahan adalah penting untuk mencegah kematian.
Tanda vital tidak selalu berubah, pada keadaan peningkatan TIK. Pasien dikaji terhadap perubahan dalam tingkat responsivitas dan adanya syok, manifestasi ini membantu dalam evaluasi.
Sakit kepala. Sakit kepala konstan, yang meningkat intensitasnya, dan diperberat oleh gerakan atau mengejan.
Perubahan pupil dan ocular. Peningkatan tekanan atau menyebarnya bekuan darah pada otak dapat mendesak otak pada saraf okulomotorius dan optikal, yang menimbulkan perubahan pupil.
Muntah. Muntah berulang dapat terjadi pada peningkatan tekanan pada pusat refleks muntah di medulla.
Pengkajian klinis tidak selalu diandalkan dalam menentukan peningkatan TIK, terutama pasien koma. Pada situasi tertentu, pemantauan TIK adalah bagian esensial dari penatalaksanaan.

Diagnosis keperawatan
Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan utama untuk pasien tersebut adalah sebagai beriku:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi (kompresi batang otak, perubahan posisi struktur)
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekresi sekunder akibat depresi pada tingkat penurunan respons
4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan prosedur dehidrasi.
5. Perubahan elminasi perkemihan dan defekasi berhubungan dengan pengaruh obat, pemasangan kateter uretra menetap, dan penurunan asupan makan/minum
6. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan system pemantauan kateter intraventrikular.

Masalah kolaborasi/komplikasi potensial
Berdasarkan data pengkajian, komplikasi potensial meliputi:
1. Herniasi batang otak diakibatkan dari peningkatan tekanan intracranial yang berlebihan, bila tekanan bertambah di dalam ruang cranial dan penekanan jaringan otak kearah batang otak. Tingginya tekanan pada batang otak menyebabkan penghentian aliran darah ke otak dan menyebabkan anoksia otak yang tidak dapat pulih dan mati otak.
2. Diabetes insipidus merupakan hasil dari penurunan sekresi hormone antidiuretik. Urine pasien berlebihan. Terapi yang diberikan terdiri dari volume cairan, elektrolit pengganti dan terapi vasopressin.
3. Sindrom ketidaktepatan hormone antidiuretik (SIADH), adalah akibat dari peningkatan sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengalami volume berlebihan dan menurunnya jumlah urin yang keluar. Pengobatan SIADH berupa pembatasan cairan dan pemberian feniotoin untuk menurunkan pengeluaran ADH atau dengan litium untuk meningkatkan pengeluaran air.

Perencanaan dan implementasi
Sasaran untuk pasien dalam mencapai perfusi jaringan serebral melalui penurunan tekanan intracranial, menormalkan pernapasan, mencapai bersihan jalan napas, perbaikan keseimbangan cairan, menormalkan fungsi perkemihan dan defekasi, tidak mendapat infeksi dan tidak terjadi komplikasi.

Intervensi keperawatan yang berkaitan dengan valsalva maneuver
1. Mencapai perfusi jaringan serebral.
Pasien dipantau terhadap bradikardia, peningkatan tekanan darah, refleks cushing, yang adalah tanda-tanda peningkatan TIK.
Fleksi panggul ekstrem dihindari karena posisi ini menyebabkan peningkatan dalam tekanan intraabdomen dan intratorakal, yang dapat menimbulkan peningkatan TIK.
Maneuver valsalva, yang dapat dihasilkan oleh mengejan saat defekasi atau bahkan gerakan diatas tempat tidur, harus dihindari. Pelunak feses dapat diresepkan. Bila pasien sadar dan bisa makan, diet tinggi serat dapat diindikasikan. Pasien dapat diinstruksikan untuk menarik napas (yang membuka glottis) saat bergerak atau dibalik secara pasif.
Kontraksi otot isometric juga dikontraindikasikan, karena otot ini meningkatkan tekanan darah dan bahkan TIK
Perubahan kecil yang relative pada posisi pasien dapat secara signifikan mempengaruhi TIK. Bila parameter pemantauan menunjukan bahwa membalik pasien meningkatkan TIK, merotasi tempat tidur dan membalik sprei dapat digunakan dan kepala pasien dapat dipegang oleh tangan perawat selama membalik untuk meminimalkan rangsang yang meningkatkan TIK.
Sebelum dilakukan penghisapan, pasien harus dioksigenasi sebelumnya dan dihiperventilasi dengan menggunakan mode high sigh pada ventilator dengan oksigen 100%. Penghisapan tidak boleh lebih dari 15 detik.
Aktivitas keperawatan yang meningkatkan TIK harus dihindari bila mungkin. Pembagian intervensi kepeawatan dapat mencegah peningkatan sementara TIK.
Selama intervensi keperawatan TIK tidak boleh meningkat lebih dari 25 mmHg dan harus kembali pada tingkat dasar dalam 5 menit.
Stress emosi dan gangguan yang sering karena tidur haus dihindari. Situasi yang tenang dipertahankan. Rangsang lingkungan (bising, percakapan) harus minimal.
Distensi abdomen, yang meningkatkan tekanan intraabdomen dan intratorakal dan TIK, harus dipertahankan. Enema dan katartik dihindari bila mungkin.
PEEP tingkat tinggi dihindari karena PEEP dapat menurunkan aliran balik vena ke jantung dan menurunkan drainase vena dari otak melalui peningkatan tekanan intratorakal.
2. Mencapai fungsi perkemihan dan defekasi normal
Kateter urinarius menetap biasanya dipasang untuk memungkinkan pengkajian terhadap fungsi ginjal dan status cairan. Abdomen bawah pasien dikaji untuk tanda distensi usus, dan area tersebut diauskultasi untuk bising usus. Biasanya feses diuji untuk adaanya darah bila pasien dalam pemberian dosis tinggi kortikosteroid dari terapi ini. Pasien diwaspadakan untuk menghindari mengejan saat defekasi karena maneuver valsalva dapat meningkatkan TIK


Kritik tentang topic
Kajian tentang valsalva maneuver di internet dan buku teks cukup banyak untuk system kardiovaskular tetapi tidak dijelaskan secara mendalam untuk sisyem neurology.

Rencana aplikasi
Peningkatan TIK merupakan kedaruratan sejati dan harus diatasi dengan segera. Ketika tekanan meninggi, substansi otan ditekan. Fenomena sekunder disebabkan gangguan oleh sirkulasi dan edema yang dapat menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan segera untuk mengurangi peningkatan TIK didasarkan pada penurunan ukuran otak dengan cara mengurangi edema serebral, mengurangi volume cairan serebrospinal, atau mengurangi volume darah, sambil mempertahankan perfusi serebral. Tujuan ini diselesaikan dengan pemberian diuretic osmotic dan kortikosteroid, membatasi cairan, pengluaran cairan serebrospinal, hiperventilasi dari pasien, mengontrol demam, menurunkan kebutuhan metabolisme dan meminimaliskan tindakan keperawatan yang dapat meningkatkan tekanan intracranial termasuk valsalva maneuver.


3. PATOLOGI PENINGGIAN T.I.K

HUBUNGAN ANTARA TEKANAN DAN VOLUME

Karena sutura tengkorak telah mengalami fusi, volume intra
kranial total tetap konstan. Isi intrakranial utama adalah otak,
darah dan CSS yang masing-masing tak dapat diperas. Karenanya
bila volume salah satu bertambah akan menyebabkan peninggian TIK
kecuali terjadi reduksi yang bersamaan dan ekual volume lainnya.
TIK normal pada keadaan istirahat adalah 10 mmHg (136 mmH2O).
Sebagai pegangan , tekanan diatas 20 mmHg adalah abnormal, dan
diatas 40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah.
Semakin tinggi TIK pada cedera kepala, semakin buruk outcomenya.


KONSEKUENSI DARI LESI DESAK RUANG

Bila timbul massa yang baru didalam kranium seperti tumor, abses
atau bekuan darah, pertama-tama ia akan menggeser isi
intrakranial normal.

Doktrin Monro-Kellie
Konsep vital terpenting untuk mengerti dinamika TIK. Dinyatakan
bahwa volume total isi intrakranial harus tetap konstan. Ini
beralasan karena kranium adalah kotak yang tidak ekspansil. Bila
V adalah volume, maka

VOtak + VCSS + VDarah + V Massa = Konstan

Karena ukuran lesi massa intrakranial, seperti hematoma,
bertambah, kompensasinya adalah memeras CSS dan darah vena
keluar. Tekanan intrakranial tetap normal. Namun akhirnya tak ada
lagi CSS atau darah vena yang dapat digeser, dan mekanisme
kompensasi tak lagi efektif. Pada titik ini, TIK mulai naik
secara nyata, bahkan dengan penambahan sejumlah kecil ukuran
massa intrakranial. Karenanya TIK yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya lesi massa.

Pergeseran CSS
CSS dapat dipaksa dari rongga ventrikel dan subarakhnoid kerongga
subarakhnoid spinal melalui foramen magnum. Rongga subarakhnoid
spinal bersifat distensibel dan mudah menerima CSS ekstra. Namun
kemampuan ini terbatas oleh volume CSS yang telah ada dan oleh
kecenderungan jalur CSS untuk mengalami obstruksi. Sekali hal ini
terjadi, produksi CSS diatas bendungan yang tetap berlangsung
akan menambah peninggian TIK.
Jalur subarakhnoid mungkin terbendung di tentorium atau
foramen magnum. Jalur CSS intraventrikular mungkin terbendung
pada ventrikel tiga atau akuaduktus yang akan menyebabkan temuan
yang khas pada sken CT dimana ventrikel lateral kolaps pada sisi
massa, sedangkan ventrikel lateral disisi berlawanan akan tampak
distensi.

Pergeseran VDS
Vena besar serebral permukaan dan dalam segera tertekan dan
mengalirkan sebagian darah ke sinus vena dural yang kaku dan
selanjutnya kevena ekstrakranial. Seperti halnya CSS,
mekanismenya terbatas oleh volume yang tersedia. Distorsi atau
kompresi vena mungkin menghalangi aliran vena. Frekuensi kejadian
ini tidak diketahui namun diduga rendah.

Pergeseran Volume Otak
Pergeseran otak sendiri oleh lesi massa hanya dapat terjadi pada
derajat yang sangat terbatas. Pada tumor yang tumbuh lambat
seperti meningioma, pergeseran otak mungkin sangat nyata,
terdapat kehilangan yang jelas dari volume otak, mungkin akibat
pengurangan cairan ekstraselular dan kandung lemak otak sekitar
tumor. Bagaimanapun dengan massa yang meluas cepat, otak segera
tergeser dari satu kompartemen intrakranial ke kompartemen
lainnya atau melalui foramen magnum.
Bila massa terus membesar, volume yang dapat digeser
terpakai semua dan TIK mulai meningkat. Selama fase kompensasi,
terjadi penggantian volume yang hampir ekual dan sedikit saja
perubahan pada TIK. Pada titik dekompensasi, peninggian volume
selanjutnya akan menyebabkan penambahan tekanan yang makin lama
makin besar. Peninggian TIK yang persisten diatas 20 mmHg
tampaknya berhubungan dengan peninggian tahanan aliran CSS. Hasil
CT menampakkan bagian yang tahanannya meningkat adalah pada
tentorium. Karenanya temuan CT yang menampakkan obliterasi
sisterna perimesensefalik merupakan bukti penting bahwa TIK
meninggi atau pertanda bahwa bahaya segera datang.
Perlu disadari bahwa segala sesuatu yang mencegah atau
menghalangi pergeseran volume kompensatori akan menyebabkan
peningkatan TIK yang lebih segera. Misalnya tumor fossa posterior
adalah merupakan lesi massa sendiri, namun juga memblok aliran
CSS dari ventrikel atau melalui foramen magnum. Karenanya volume
CSS bertambah dan kompensasi untuk massa tumornya sendiri akan
terbatas. Selanjutnya penderita dengan massa yang terus meluas
akan mendadak sampai pada titik dekompensasi bila aliran vena
serebral dibatasi oleh peninggian tekanan vena jugular akibat
kompresi leher atau obstruksi pernafasan.
Perubahan volume sendiri bersifat penjumlahan. Efek tumor
otak akan sangat meningkat oleh edema otak.
Pada banyak keadaan klinis, perubahan volume sangat kompleks. Ini
terutama pada cedera kepala dimana mungkin terdapat bekuan darah,
edema otak serta gangguan absorpsi CSS akibat perdarahan
subarakhnoid atau perdarahan intraventrikuler. Mungkin dapat
ditambahkan vasodilatasi akibat hilangnya autoregulasi atau
hiperkarbia.
Perubahan volume tersebut juga dinamik. Pasien dengan lesi
otak mungkin berada pada tepi bencana dekompensasi, dapat
diselamatkan dengan cara menambah cadangan kompensasi atau
diperburuk oleh tindakan yang tak adekuat, terlambat atau yang
berbahaya.
Walau urut-urutan kejadian berakibat perubahan yang terjadi
dengan peninggian TIK progresif karena sebab apapun, hubungan
antara tingkat TIK dan keadaan neurologik juga tergantung pada
tingkat perubahan dan adanya pergeseran otak. Tumor tumbuh lambat
seperti meningioma mungkin tumbuh hingga ukuran besar tanpa
adanya tanda peninggian TIK. Sebaliknya hematoma ekstradural akut
yang lebih kecil mungkin menyebabkan kompresi otak yang berat dan
cepat.
Peninggian TIK sangat baik ditolerasi bila tak ada
pergeseran otak. Contohnya adalah hipertensi intrakranial jinak
dimana terdapat hubungan bebas CSS dan tidak ada pergeseran otak.
Tingkat TIK yang sangat tinggi, cukup untuk menimbulkan edema
papil, mungkin dapat ditolerasi tanpa ada gangguan kesadaran
apapun.

Konsekuensi Klinik dari Peninggian TIK
Untuk lesi yang membesar cepat seperti hematoma epidural,
perjalanan klinik dapat diprediksi dari hubungan volume-tekanan
yang sudah dijelaskan terdahulu. Pada tahap awal ekspansi massa
intrakranial, perubahan TIK sedikit dan pasien tetap baik dengan
sedikit gejala. Bila massa terus membesar, mekanisme kompensasi
berkurang dan TIK meningkat. Pasien mengeluh nyeri kepala yang
memburuk oleh faktor-faktor yang menambah TIK seperti batuk,
membungkuk atau berbaring terlentang, dan kemudian menjadi
mengantuk. Saat ini, penambahan volume massa sedikit saja
menyebabkan peninggian TIK secara cepat dan terjadi gelombang
tekanan (dP2 melebihi dP1). Penderita menjadi lebih mengantuk.
Kompresi atau pergeseran batang otak menyebabkan peninggian
tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat.
Dengan ekspansi dan peninggian TIK selanjutnya, pasien
menjadi tidak responsif. Pupil tak berreaksi dan berdilatasi,
serta tak ada refleks batang otak. Akhirnya fungsi batang otak
berhenti. Tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi menjadi
lambat dan tak teratur serta akhirnya berhenti.
Efek klinik tingkat peninggian tertentu TIK sangat
bervariasi. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemi.
Karenanya dalam usaha untuk mengerti hubungan antara TIK dan
kegagalan otak, perlu memikirkan hubungan antara TIK, ADS dan
metabolisme otak, serta antara TIK dan pergeseran otak.


Tekanan Intrakranial dan Aliran Darah Otak
Peninggian TIK mungkin mempengaruhi ADS melalui cara:

1. Melalui kompresi arteria serebral, yaitu herniasi subfalsin,
menyebabkan oklusi arteria serebral anterior, atau herniasi
tentorial menyebabkan obstruksi arteria serebral posterior.
2. Dengan meregang dan merobek arteria dan vena batang otak.
Karena batang otak digeser kebawah, arteria basilar ditahan
diposisinya oleh cabang-cabang besar. Arteria perforantes yang
kecil menjadi teregang dan menyempit, menyebabkan iskemi batang
otak.
3. Dengan mempengaruhi perfusi serebral. Otak walau hanya 2 %
dari berat badan, menerima 15 % curah jantung dan menggunakan 20
% dari catu total gula tubuh. Bahkan periode singkat iskemi akan
menyebabkan kerusakan neuronal yang tak dapat pulih.

Total ADS tetap konstan 50 ml/100 g menit-1 pada wilayah yang
lebar dari tekanan perfusi, meski ADS regional berreaksi secara
cepat sesuai kebutuhan metabolik. ADS lebih tinggi pada
kebanyakan substansi kelabu yang aktif secara metabolik (80
ml/100 g menit-1 lebih rendah pada substansi putih yang kurang
selular (20 ml/100 g menit-1). Fenomena ini, yang disebut
autoregulasi, diduga kerja pembuluh yang mempunyai tahanan, yaitu
arteriola. Ketika tekanan darah meningkat, arteriola
berkonstriksi, meningkatkan tahanannya (resistensi
serebrovaskular), dan mencegah peningkatan ADS. Sebaliknya,
penurunan tekanan darah menyebabkan dilatasi arteriola. Pada
setiap bed vaskular, aliran darah tergantung pada perbedaan
tekanan antara arteria dan vena, tekanan perfusi dan tahanan
vaskular. Jadi:

aliran darah = (tekanan arterial - tekanan vena) : tahanan vaskular

Dan dalam kranium yang tertutup:

ADS = (tekanan arterial - tekanan sinus sagital) : tahanan serebrovaskular

Dalam praktek, tekanan sinus sagital adalah 1-2 mmHg lebih rendah
dari TIK dan hubungan ini tetap konstan pada wilayah yang luas
dari tekanan, jadi TIK dapat disubstitusikan untuk tekanan sinus
sagital. Jadi formulanya dapat ditulis sebagai:

ADS = (tekanan arterial - TIK) : tahanan serebrovaskular

Sekarang tampak bagaimana kritisnya TIK terhadap ADS. Peningkatan
TIK akan merendahkan tekanan perfusi. Bila pembuluh darah mampu
mengautoregulasi ketika tahanan serebrovaskular berkurang, akan
dipertahankan ADS yang konstan.
Integritas autoregulasi, melalui pengaruhnya pada VDS, juga
mempunyai arti yang penting terhadap TIK. Bila auto regulasi
hilang, tahanan pembuluh serebral mungkin berdilatasi secara
pasif karena pengaruh tekanan perfusi. Jadi darah mungkin
digerakkan melawan tahanan yang rendah ke bed vaskular serebral,
mempertinggi VDS. Ini kadang-kadang dapat menjelaskan
pembengkakan otak akut yang sering tampak setelah cedera kepala
tertutup pada anak-anak serta setelah tindakan menghilangkan
kompresi otak akut pada usia berapapun.


ADS DAN METABOLISME OTAK

ADS regional segera berubah sesuai kebutuhan metabolik lokal,
melalui autoregulasi. Jadi ADS dipengaruhi oleh:

1. tekanan darah arterial
2. tekanan intrakranial
3. autoregulasi
4. stimuli metabolik
5. distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa intrakranial
atau oleh herniasi yang mungkin langsung merusak kapasitas
autoregulasi, menyebabkan bendungan vena lokal (kompresi vena)
atau iskemia (kompresi arterial).


TIK DAN PERGESERAN OTAK

Pada kenyataannya, banyak dari akibat klinis dari peninggian TIK
adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri.

Transtentorial
Lateral
Massa yang terletak lebih kelateral menyebabkan pergeseran bagian
medial lobus temporal (unkus) melalui hiatus tentorial serta akan
menekan batang otak secara transversal. Saraf ketiga terkompresi
menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral. Penekanan pedunkel
serebral menyebabkan hemiparesis kontralateral. Pergeseran
selanjutnya menekan pedunkel serebral yang berseberangan terhadap
tepi tentorial menyebabkan hemiparesis ipsilateral hingga terjadi
kuadriparesis. Sebagai tambahan, pergeseran pedunkel yang
berseberangan pada tepi tentorial sebagai efek yang pertama akan
menyebabkan hemiparesis ipsilateral. Indentasi pedunkel serebral
ini disebut 'Kernohan's notch'. Arteria serebral posterior
mungkin tertekan pada tepi tentorial, menyebabkan infark lobus
oksipital dengan akibat hemianopia.

Sentral
Bila ekspansi terletak lebih disentral seperti tumor bifrontal,
masing-masing lobus temporal mungkin menekan batang otak.
Kompresi tektum berakibat paresis upward gaze dan ptosis
bilateral.

Tonsilar
Mungkin merupakan tahap akhir kompresi otak supra-tentorial
progresif, dan menampakkan tahap akhir dari kegagalan batang
otak. Kadang-kadang pada tumor fossa posterior, herniasi
tonsilar berdiri sendiri, menyebabkan tortikolis, suatu refleks
dalam usaha mengurangi tekanan pada medulla. Kesadaran mungkin
tidak terganggu, namun gangguan respirasi terjadi berat dan
cepat.

Subfalsin
Pergeseran permukaan medial hemisfer (girus singulata) didekat
falks mungkin menekan arteria serebral anterior menimbulkan
paralisis tungkai kontralateral. Ini jarang ditemukan berdiri
sendiri.
Pergeseran kebawah terus bertambah berat dan dipercepat oleh
pungsi lumbar; CSS keluar melalui luka pungsi dural dalam
jumlah yang besar untuk beberapa hari, tidak peduli berapa banyak
atau berapa sedikit CSS diambil untuk analisis.


HUBUNGAN PERBEDAAN TEKANAN DENGAN HERNIASI

Pada keadaan normal terdapat hubungan bebas cairan melalui jalur
CSS, dan tekanan dihantarkan secara ekual sepanjang neuraksis.
Namun bila jalur tersumbat, hal tersebut tidak lagi berlaku.
Bila massa mulai meluas dalam kranium, peninggian TIK mula-
mula dihantarkan kecairan spinal dan mungkin dicatat dengan
pungsi lumbar. Sekali tentorium atau foramen magnum terobstruksi
oleh pergeseran jaringan otak, tekanan dibawah sumbatan tidak
lagi benar-benar menunjukkan tekanan diatasnya sehingga cenderung
turun dibawah tekanan normal. Pungsi lumbar pada pasien dengan
lesi intrakranial yang meluas bukanlah indikator yang benar dari
TIK. Ini juga sangat berbahaya. Seperti disebut diatas,
pengambilan cairan dibawah massa, bahkan kebocoran melalui lubang
dural yang diakibatkan jarum pungsi lumbar, akan menambah
perbedaan tekanan dan mempercepat herniasi dan kompresi otak.

Perbedaan Tekanan yang terjadi didalam Kranium
Perbedaan tekanan didalam kranium dikarenakan perluasan massa
lesi. Ketika massa meluas, otak tergeser menjauhi daerah dengan
tekanan rendah dalam usaha menyeimbangkan tekanan. Perbedaan
tekanan ini tidak besar dan biasanya sementara. Sekali terjadi
pergeseran otak, TIK mungkin segera berkurang, karena massa untuk
sementara menyesuaikan diri.
Perbedaan tekanan juga pernah diukur pada jaringan otak pada
penelitian pembentukan edema otak. Tekanan intravaskular
mendorong cairan edema kerongga ekstraselular.
Tekanan jaringan juga tampak lebih tinggi dari TIK
keseluruhan selama pembentukan edema. Untuk kegunaan praktis, TIK
yang dicatat dengan meletakkan kateter atau baud pada cairan yang
berhubungan bebas, akan serupa pada tempat-tempat didalam
kranium, membuktikan tidak ada herniasi tentorial.


EDEMA OTAK

Edema otak didefinisikan sebagai peningkatan volume otak
diakibatkan bertambahnya kandung air jaringan. Istilah
'pembengkakan otak' juga umum, dimana volume bertambah mungkin
pada air jaringan (edema otak), atau pada volume intravaskular
(pembengkakkan otak kongestif). Istilah-istilah ini tak
seluruhnya dapat dipertukarkan.
Kandung air otak normal adalah 80 % dari berat bersih pada
substansi kelabu, dan 68 % berat bersih substansi putih. Pada
otak yang edema, nilainya adalah 77 % pada substansi putih dan 82
% pada substansi kelabu. Jadi kebanyakan peningkatan jumlah air
adalah pada substansi putih, yang kini dapat dipastikan in vivo
dengan CT dan MRI.
Ada beberapa jenis edema otak; vasogenik, sitotoksik,
hidrostatik, hipo-osmolar dan interstitial. Pada konteks bedah
saraf, jenis terpenting adalah edema vasogenik yang khas dengan
penambahan permeabilitas sel kapiler otak. Ini tampak pada
keliling kontusi otak, tumor, abses, dan tepi infark serebral.
Bentuk edema ini paling efektif ditindak dengan steroid.
Pada edema sitotoksik, semua elemen serebral otak (neuron,
glia, sel endotel) mungkin menjadi bengkak, dengan pengurangan
rongga cairan ekstraselular. Hipoksia dan hipo-osmolalitas akut
seperti tampak pada keracunan air, mungkin dipisahkan kedalam
subgrup dari edema sitotoksik.
Edema hidrostatik merupakan penjelasan atas pembengkakan
otak dan peninggian TIK yang parah terkadang tampak setelah
dekompresi hematoma intrakranial yang besar. Penambahan utama
tekanan intravaskular intrakranial dihantarkan pada bed kapiler
yang tak terlindung, dan cairan merembes ke rongga ekstraselular.
Penjelasan lain pembentukan pembengkakan otak adalah bendungan
karena hilangnya autoregulasi dan ekspansi VDS.
Bila terdapat hidrosefalus obstruktif, sering terdapat
daerah radiolusen periventrikular pada CT. Kadangkala ini disebut
edema interstitial, menunjukkan peninggian TIK mendorong air
melintasi ependima dari CSS ke substansi putih periventrikular.
Ini didukung tampilan MRI.

Efek merusak edema otak digambarkan melalui tiga mekanisme
yang saling berhubungan. Pertama adalah peninggian TIK yang
terjadi bila volume air yang me- ngalami ekstravasasi melebihi
batas kompensasi spasial. Akhirnya terjadi pengurangan ADS,
menyebabkan iskemia. Kedua, akumulasi air akan menambah tahanan
serebrovaskuler karena distorsi atau kompresi bed vaskuler, dan
ini akan mengurangi juga ADS regional. Akhirnya efek massa daerah
edema memperparah distorsi dan pergeseran otak. Karena iskemi
serebral sendiri menyebabkan edema otak, mudah untuk melihat
bagaimana siklus visius dapat timbul, dimana edema dan iskemi
otak menjadi progresif.


KEKAKUAN OTAK

Kapasitas kandung intrakranial untuk mengakomodasi perubahan
volume tergantung pada tingkat TIK dan kekakuan otak. Penambahan
volume V menyebabkan penambahan tekanan P1 atau P2 tergantung
pada kemiringan kurva volume-tekanan.
Pengukur kekakuan otak adalah elastance, dimana perubahan
tekanan per unit volume (dP/dV) atau sebaliknya, compliance
(dV/dP).
Kekakuan otak bertambah sebagai pegeseran kekanan sepanjang
kurva volume-tekanan. Namun kekakuan otak juga berubah pada
kelainan patologis yang berbeda. Misalnya edema otak atau
perdarahan intrakranial akan menambah kekakuan otak dan
menggerakkan kurva volume-te- kanan kekiri. Jadi kekenyalan otak
mungkin berubah tanpa tergantung TIK.
Steroid dan mannitol menurunkan TIK namun mengurangi
kekakuan otak pada keadaan yang bahkan pada tingkat yang lebih
besar dari pengurangan TIK sendiri. Hipokarbia dilain fihak
mengurangi kekakuan hanya dengan mengurangi TIK hingga kurva
volume-tekanan tidak berubah.
Kekauan otak dapat diukur dengan menyuntikkan 1 ml cairan
melalui kateter ventrikular dan mencatat peningkatan TIK. Tes
ini disebut sebagai respons volume-tekanan.
Tes ini digunakan sebagai tes klinik untuk menentukan posisi
pasien pada kurva volume-tekanan, dan karenanya dapat menduga
dekompensasi yang mengancam.


OBAT-OBAT ANESTETIK DAN TIK

Obat hipnotik seperti barbiturat menurunkan baik metabolisme
serebral maupun ADS, karenanya juga TIK. Tiopental mampu
memaksimumkan perfusi pada daerah iskemi dengan mengurangi ADS
pada jaringan otak normal dan ini bersama dengan penurunan TIK
menjelaskan aksi protektif.
Obat inhalasional seperti N2O dan obat volatil seperti
halotan, trikloretilen dan metoksifluran meninggikan TIK melalui
vasodilatasi pada pasien dengan jalur CSS normal dan dengan lesi
desak ruang intrakranial. Halotan juga mengurangi tekanan darah
sistemik hingga tekanan perfusi mungkin berkurang jauh.
Peninggian TIK mungkin diminimalkan bila didahului dengan
hipokapnia. Enfluran dan isofluran mempunyai efek serupa halotan,
namun isofluran kurang menimbulkan pembengkakan otak dibanding
halotan dan itu akan mengurangi metabolisme serebral yang
menyebabkannya pantas untuk bedah saraf.

Patofisiologi

WOC CIDERA MEDULLA SPINALIS

Kecelakaan
Olahraga
Tembakan senapan

Trauma medulla spinalis

Kematian sel nekrosis

Sel membentuk jaringan parut

Terputusnya akson pada segmen
Medulla spinalis yang terkena

Breathing Blood Brain Bladder

Gangguan pada batang otak peningktan TIK kerusakan otak kerusakan L1-L2

Gangguan irama jantung Perubahan frekuensi jantung penurunan kesadaran hilangnya fungsi
sensorik/motorik

Gangguan pola napas aspirasi retensi urin
keterbatasan aktifitas
Peningkatan sputum gangguan pola eliminasi urin

Ketidak efektifan bersihan jalan napas
Bowel Bone

Kerusakan L1 - L2 paralise lama

Penurunan fungsi pencernaan ketidakseimbangan otot

Mual, muntah gangguan mobilisasi

Anoreksia gangguan integritas jaringan

Gangguan keb.nutrisi

Askep klien dengan fraktur kompresi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN FRAKTUR KOMPRESI V Th IV Frankle A di BANGSAL DAHLIA RS. ORTOPEDI Prof. Dr. SOEHARSO SURAKARTA
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN
Paraplegi adalah kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral atau transversal di medula spinalis dibawah tingkat cervical (Sidharta, 1999).

Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya dengan menggunakan latihan-latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996).
Fraktur kompresi terdiri dari kata fraktur dan kompresi. Fraktur artinya keadaan patah atau diskontinuitas dari jaringan tulang, sedangkan kompresi artinya tekanan atau tindihan, jadi fraktur kompresi adalah diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu tekanan atau tindihan yang melebihi kemampuan dari tulang tersebut (Ahmad Ramali, 1987).
Fraktur kompresi adalah suatu keretakan pada tulang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan yang terjadi bersamaan. Fraktur kompresi pada vertebral umumnya terjadi akibat osteoporosis.
Fraktur kompresi vertebra adalah suatu fraktur yang merobohkan ruas tulang belakang akibat tekanan dari tulang, mendorong ke arah robohan ruas-ruas tulang belakang yang kebanyakan seperti sebuah spons/bunga karang yang roboh di bawah tekanan tangan seseorang. Biasanya terjadi tanpa rasa sakit dan menyebabkan seseorang menjadi lebih pendek. Fraktur kompresi vertebra sering dihubungkan dengan osteoporosis.





B. ETIOLOGI
Penyebab cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua yaitu akibat trauma dan non trauma. Delapan puluh persen cedera medula spinalis disebabkan oleh trauma (contoh : jatuh, kecelakaan lalu lintas, tekanan yang terlalu berat pada punggung) dan sisanya merupakan akibat dari patologi atraumatis seperti carcinoma, mielitis, iskemia, dan multipel sklerosis (Garrison, 1995).

C. PATOFISIOLOGI
Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen yang cedera tersebut.
Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :
Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi.
Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah level lesi.
Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.
Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.
Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit neurologisnya.
D. TANDA DAN GEJALA PARAPLEGI AKIBAT SPINAL CORD INJURY.
a. Gangguan motorik
Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka gangguan refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak bawah akan mengalami flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa spinal shock berlangsung beberapa jam bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur - angsur pulih dan menjadi spastik. Cedera pada medula spinalis pada level atas bisa pula flacid karena disertai kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan matinya sel – sel saraf
b. Gangguan sensorik
Pada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami gangguan.(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.
c. Gangguan bladder dan bowel
Efek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula spinalis, derajat kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury. Paralisis bladder terjadi pada hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia.

Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasii otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).
d. Gangguan fungsi seksual
• Gangguan seksual pada pria
Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi.
Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada conus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual.
Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter.
Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan locomotor dan aktivitas otot secara volunter.
Dapat dilakukan tes untuk mengetahui potensi sexual dan fertilitas. Selain itu banyak pasangan yang memerlukan bantuan untuk belajar teknik-teknik keberhasilan untuk hamil (Hirsch, 1990; Brindley, 1984).
• Gangguan seksual pada wanita
Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi komplit atau tidak komplit. Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa bulan atau lebih dari setahun. Terkadang siklus menstruasinya akan kembali normal.
Pada pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan sensasi pada organ genitalnya dan gangguan untuk fungsi seksualnya.
Pada paraplegi dan tetraplegi, wanita dapat hamil dan mempunyai anak yang normal dengan lahir normal atau dengan caesar (SC) jika memang indikasi. Kontraksi uterus akan terjadi secara normal untuk cidera diatas level Th6, kontraksi uterus yang terjadi karena reflek otonom. Pasien dengan lesi complet pada Th6 dan dibawahnya. Akan mengalami nyeri uterus untuk pasien dengan lesi komplet Th6, Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanya oleh rumah sakit sampai proses kehamilan.
e. Autonomic desrefleksia
Autonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus dari bladder, bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus tanggap terhadap tanda-tanda terjadinya autonomic desrefleksia antara lain 1) keluar banyak keringat pada kepala, leher, dan bahu, 2) naiknya tekanan darah, 3) HR rendah, 4) pusing atau sakit kepala.
Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas dari reflek ini jika tidak cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak, bahkan kematian. Dapat juga disebabkan oleh spasme yang kuat dan akibat perubahan pasisi yang tiba-tiba, seperti saat tilting table.

E. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering muncul pada kasus paraplegi adalah antara lain :
a. Chest complication
Istirahat ditempat tidur mengakibatkan gangguan tahanan mekanik akibat dari penurunan seluruh dan pengurangan pengembangan otot-otot intercostal, diafragma, dan abdominal saat pernafasan supinasi. Sendi kostovertebral dan kostokondral serta otot-otot abdominal bisa jadi terfiksasi dalam proses okspirasi. Sehingga menyebabkan penurunan inspirasi maksimal dan berakibat pada penuruan kapasitas pernafasan vital dan fungsional. Hal ini menyebabkan perbedaan regional dalam rasio vertilasi /perfusi di daerah yang kontilasinya buruk serta daerah yang perfusinya berlebihan dan pirauarterio venosa. Jika terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme maka terjadilah hipoksia. Fungsi mukosiliaris juga terganggu maka sekresi mukus mengumpul pada bronkioli saluran nafas yang tergantung, sehingga menimbulkan atelektasis dan pneumonia hipostatik (Garrison, 1995)
b. Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru
Pasien paraplegi beresiko tinggi mengalami DVT. (Garrison, 1995). DVT ditandai dengan adanya pembengkakan pada kaki, eritema dan suhu yang cenderung rendah. Sering ditemukan oleh fisioterapis ketika melakukan pemeriksaaan gerak pasif pada salah satu atau kedua anggota gerak bawah. Jika DVT positif maka latihan dihentikan sampai diberikan anti koagulan sehingga sistem vaskuler menjadi stabil kembali. Jika DVT tidak terdiagnosis maka perlu diperhatikan terjadinya emboli yang biasanya terjadi pada hari ke 10 – 40 (Bromley, 1991).
c.Pressure sore
Pressure sore disebut juga ulcus decubitus, disebabkan karena lamanya penekanan yang menyebabkan iskemik kemudian nekrosis pada jaringan lunak diatas tonjolan-tonjolan tulang seperti sacrum, iscium, trocanthor, dan tumit. Pembengkakan, malnutrisi, anemia, hipoalbuminemia dan kelumpuhan merupakan faktor-faktor pedukung (Garrison, 1995).
d. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini merupakan akibat dari hilangnya fleksibilitas jaringan lunak yang dikarenakan imobilisasi. Timbulnya kontraktur merupakan salah satu kecacatan yang paling parah karena berpengaruh besar pada hasil akhir fungsional dan rehabilitasi (Garrison, 1995)
e. Osteoporosis dan fraktur
Dalam pembentukan tulang dan penyerapan kalsium pada tulang sangat dipengaruhi oleh rangsangan dari tumpuan berat badan, gravitasi, dan kontraksi otot. Pada kondisi paraplegi karena adanya kelumpuhan maka rangsangan tersebut tidak terjadi sehingga berpotensi timbulnya osteoporisis dan bila berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi tulang. Osteoporosis dapat menyebabkan fraktur kompresi pada corpus vertebra dan tulang panjang penumpu berat badan hanya dengan trauma kecil serta mempermudah pasien untuk mengalami fraktur panggul (Garrison, 1995).
f. Heterotopic ossification
Heteroptopic ossification merupakan pembentukan tulang pada jaringan lunak, biasanya terjadi pada sendi besar seperti hip dan knee. Umumnya baru diketahui satu hingga empat bulan setelah cedera dan lebih sering terjadi pada cedera komplit. Patogenesisnya tidak jelas. (Garrison, 1995).
g. Neuropathic atau spinal cord pain
Kerusakan dari tulang vertebra, medula spinalis, saraf tepi, dan jaringan disekitarnya dapat menyebabkan neuropatik. Rasa nyeri pada akar saraf bisa berupa nyeri tajam teriris dan menjalar sepanjang perjalanan saraf tepinya bahkan mungkin terjadi pada phantom limb pain (Garrison, 1995).
h. Syringomyelia
Syringomyelia merupakan pembesaran kanalis centralis dari medula spinalis pasca trauma, terjadi pada satu hingga tiga persen pasien spinal cord injury. Resikonya adalah gangguan fungsi diatas level cedera.(Bromley,1991).

F. PROGNOSIS
Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan klasifikasi spinal cord injuri dan prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam (mengenai hidup metinya penderita), segi quo ad sanam (mengenai penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik) dan segi quo ad fungsionam (ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang terjadi kemungkinan baik, dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu ragu-ragu kearah baik (dubia ad bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad malam). Secara garis besar prognosis dari paraplegi akibat cedera medula spinalis adalah jelek karena medula spinalis merupakan salah satu susunan saraf pusat dan bila mengalami kerusakan akan terjadi kecacatan yang permanen.(Garrison,1995)


























TRAUMA MEDULA SPINALIS
PENDAHULUAN
Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .
Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya.kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketionggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga.
Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagalginjal,pneumoni/decubitus.
II. PENYEBAB DAN BENTUK
Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat beruypa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
III. PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.
IV. GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa.
V. PERAWATAN DAN PENGOBATAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder.untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana papun yang beralas keras.selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi.bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kep[ala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan.
Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.perawatn ditujukan pada pencegahan :
• Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.
• Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.
• Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.
• Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.
• Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.
KULIT
Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan kiri telentang dan telungkup.
ANGGOTA GERAK
Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot.pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.
TRAKTUS URINARIUS
Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap buli-buli, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.
TRAKTUS DIGESTIVUS
Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual .
TRAKTUS RESPIRATORIUS
Apabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan pentaplegia), maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan.












PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter.
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).
Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.
Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya malkalah yang berjudul “cedera medulla spinalis” dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
B. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini tentang pengertian cidera medulla spinalis, etiologi,patofosiologi, tanda dan gejala,penanganan kegawatdaruratan.dan asuhan keperawatan cedera medulla spinalis.
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada cedera medulla spinalis
2. Tujuan Khusus
a. Mampu mengidentifikasi pengertian cedera medulla spinalis
b. Mampu mengerti tentang penyebab dan tanda cedera medulla spinalis
c. Mampu memberikan penanganan awal pada pasien cedera medulla spinalis
d. Mampu memberikan asuhan keperawatan dengan benar.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Judul
Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, ruang lingkup, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : Pembahasan yang terdiri dari konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan
BAB III : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran
Daftar Pustaka
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR
I. ANATOMI FISIOLOGI
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
(Gambar 1:Diagram otak, tulang belakang dan medulla spinalis)
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :
a. Vetebrata Thoracalis (atlas)
Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang.
b. Vertebrata Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebrata Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. (lihat gambar A1)
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.
(Eveltan. C. Pearah, 1997 ; 56 – 62)
(Gambar 2:ensephalon dan sumsum tulang belakang (Latin: ‘medulla spinalis’).
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang : a. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :
1). Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2). Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.
3). Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.
4). sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.
5). Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.
6). Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.
2. PENGERTIAN
Cedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)
Cedera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cedera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.
3. ETIOLOGI
Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :
a. kecelakaan otomobil, industri
b. terjatuh, olah-raga, menyelam
c. luka tusuk, tembak
d. tumor.
4. PATOFISIOLOGI
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.
Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Kerusakan medula spinalis
Hemoragi
Serabut- serabut membengkak/hancur
Sirkulasi darah terganggu
Cidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5
- Lesi L1 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong.
- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.
- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.
- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.
- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.
5. MANIFESTASI KLINIS
a. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
b. paraplegia
c. tingkat neurologik
d. paralisis sensorik motorik total
e. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
f. penurunan keringat dan tonus vasomoto
g. penurunan fungsi pernafasan
h. gagal nafas
(Diane C. Baughman, 200 : 87)
6. PEMERIKSAN DIAGNOSTIK
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
b. Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
c. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
d. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)
f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
(Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 339 – 340)
7. KOMPLIKASI
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi
8. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan Kedaruratan
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , cedera olahraga kontak, jatuh,atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini disingkirkan.
1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.
2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.
3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk kecedera spinal regional atau pusat trauma karena personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam pertama setelah cedera.
Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi eksternal . Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan cedera medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak benar. Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur dibawahnya.
b. Penatalaksanaan Cedera Medula Spinalis ( Fase Akut)
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Farmakoterapi
Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.
Tindakan Respiratori
1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.
2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.
3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.
Reduksi dan Fraksi skeletal
1) Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma vertebrata.
2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.
3) Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksi
Intervensi bedah = Laminektomi
Dilakukan Bila :
1) Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi
2) Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal
3) Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal
4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla.
(Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89)
9. PENCEGAHAN
Faktor – faktor resiko dominan untuk cedera medula spinalis meliputi usia dan jenis kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan dengan cedera medula spinalisbertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan bencana ini , langkah- langkah berikut perlu dilakukan :
1) Menurunkan kecepatan berkendara.
2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu.
3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.
4) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk.
5) Mengajarkan penggunaan air yang aman.
6) Mencegah jatuh.
7) Menggunakan alat- alat pelindung dan tekhnik latihan.
Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari mobilnya dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat kebagian kedaruratan rumah sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada medula spinalis.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA MEDULLA SPINALIS
1. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1). Airway.
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.
2). Breathing
Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.
3). Circulation
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik
4). Disability
Melihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.
5). Exprosure
Melihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurology
a) Dilakukan rawat luka
b) Pemeriksaan radiology
c) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakit
b. Pengkajian Skunder
1). Aktifitas /Istirahat
Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
2). Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
3). Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis.
4). Integritas Ego
5). Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
6). Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
7). Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
8). Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
9). Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
10). Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.
11). Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
12). Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.
c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.
e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.
f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi
3. Perencanaan dan Implementasi
Tujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan, perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.
4. Intervensi
a. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 – 7,45
Rencana Tindakan
1). Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk.
2). Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
3). Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
4). Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
5). Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
6). Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
7). Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
8). Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
9). Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
b. Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.
Rencana Tindakan
1). Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
2). Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
3). Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
4). Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
5). Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
6). Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
7). Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.
c. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang tertekan.
Rencana Tindakan
1). Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.
2). Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
3). Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
4). Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.
5). Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
6). Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
7). Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
8). Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan
d. Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
Rencana tindakan
1). Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
2). Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
3). Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine
4). Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ……..
5). Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
6).Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
7). Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.
e. Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
Rencana tindakan
1). kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
2). Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
3). Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
4). Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
5). Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
6). Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
7). Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
8). Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria
f. Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.
Rencana tindakan
1). Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
2). Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.
3). Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping
4). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.
5. Evalusi
a. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
b. Klien dapat memperbaiki mobilitas
c. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
d. klien mengalami peningkatan eliminasi urine
e. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
f. Klien menyatakan rasa nyaman
(Marilyn E. Doenges 1999 ; 340 – 358, Diane C Baurghman, 2000 : 91 – 93)
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam ,luka tusuk, tembak dan tumor.
Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan.
Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan cedera medula spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam memberikan asuhan keperawatan dapat menyebabkan cedera semakin komplit dan dapat menyebabkan kematian.
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar cedera medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi , mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGC
http://akhmadrapiuddin.blogspot.com/2009/06/makalah-medula-spinalis.html.
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalis
Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI
Smeltzer,Suzanna C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah Edisi 8.Jakarta: EGC